Pada hari pertama tahun 2020, saya membalas chating seorang penulis perempuan dari Malut. Irawati Salim nama lengkapnya. Saya memanggilnya Kak Ira. Sesekali hanya kakak.
Chat Kak Ira sudah ditayangkan kepada saya sehari sebelum memasuki tahun baru, tanggal 31 Desember 2019 hari Selasa. Pesan via mesengger itu berunjung pada pertanyaan: “K ira kasih beberapa buku k ira sebagai bacaan boleh?” “…Sangat boleh tu kak…” balas saya pada Rabu pagi pukul tujuh lewat enam menit, karena sehari lalu saya tak sempat mengaktifkan mesengger.
Beruntun rasa ngantuk saya lenyap. Siapa yang tak senang kalau dikasih buku gratis. Mengingat obsesi memiliki buku inilah yang menyebabkan uang selalu tak nyaman di dompet dan saku celana. Tentu buku yang dikasih Kak Ira bukan diperuntukan untuk saya pribadi. Tapi untuk Perpustakaan Independensia, sala satu komunitas literasi di Malut yang dari tahun 2016, telah menggelar lapak buku–baca buku gratis–setiap hari Minggu di Taman Nukila. Dan, sang pemberi buku sudah tau. Karena itulah, harap Kak Ira, buku-buku yang disumbangakan nanti bisa dibaca oleh khalayak.
Balas membalas chat antara saya dan Kak Ira berlanjut hingga menjelang siang, berbuahlah kesepakatan kalau kami bertemu di hari Minggu di Taman Nukila.
Kemarin, Minggu, 5 Januari 2020, Kak Ira menunaikan pesannya. Ia menyerahkan buku itu kepada Rajuan Jumat alias Ambo alias Tonirio, salah satu pelapak buku Literasi Nukila yang bercita-cita (entah cita-cita sungguhan atau musiman, nanti dilihat hasilnya) jadi penulis. Karena saya tak sempat ke Literasi Nukila, saya baru melihat buku-buku yang dikasih itu ketika para pendekar literasi pulang ke sekretariat. Ternyata ada sembilan buku. Yang membuat saya terkejut ketika membaca penulis buku. “Irawati Salim, Irawati Salim, Irawati Salim…,” nyaris ke sembilan buku itu tertera nama Irawati Salim.
Saya hanya geleng-geleng kepala seraya mengingat-ngingat lontaran Kak Ira beberapa bulan lalu bahwa ia sudah melahirkan belasan karya. Lantas, saya juga berpikir butuh berapa hari bisa menamatkan karya dari perempuan kelahiran Ambon ini di tengah kebimbangan yang sering menghantui saya selaku pribadi yang tengah memakai toga yang masih belajar menulis: apa harus cari pekerjaan tetap atau khusyu di jalan ini sambil nunggu tulisan terbit di media nasional misalnya, sambil terus membaca. Teman-teman tau kan nasib belajar menulis: merana dan sengsara. Karena belajar menulis tak sekali olah, detik itu juga jadi. Maka, kita butuh kesabaran berlapis-lapis sembari tangguh membaca terus menulis, secara kontinyu terus menerus begitu.
“Kerja keras. Itu dia kuncinya. Menulis hanya 10 persen bersangkut dengan soal bakat, sisanya (90 persen) adalah kerja keras dan ketekunan,” tulis Muhidin M. Dahlan di esai "Menjadi Penulis" dalam buku "Para Penggila Buku Seratus Catatan Di Balik Buku" (2009). Tapi saya tak mau curhat di dinding Fb, baru berapa lama saya belajar menulis. Kembali ke cerita awal saya.
Dari kesembilan karya Kak Ira, enam termasuk ontologi bersama penulis lain, sisa tiganya adalah karya tunggal. Semuanya berkategori sastra; ada ontologi puisi (Cinta, Rindu, dan Kenangan), dua novel (Sehitam Luka, Seputih Rindu dan Suara-Suara Hijrah), ontologi cerita anak (Berlayar Ke Pulau Tabielenge), ontologi cerpen detective (Perfect Hannin), ontologi cerpen romantis (Jodoh Jangan Keliru), ontologi cerpen perjuangan (Indonesia Punya Cerita).
Begitulah singkat cerita saya dan Kak Ira di hari-hari pertama tahun baru.
Tentu, pengenalan awal saya dengan penulis bukan bermula dari pesan via messenger di bulan Januari tahun 2020 ini. Adalah Ternate Membaca 4 (Terbaca4), ajang tahunan komunitas kreatif /perpustakaan literasi yang digelar pada bulan Ramadan tahun lalu, saya mengenal Kak Ira pertama kali ketika salah satu dari sesi Terbaca4 itu dihelat: ‘Apresiasi Karya.’ Di sesi ini, buku-buku penulis lokal yang baru terbit dan belum sempat didiskusikan di ruang publik, mendapat kesempatan untuk diobrolkan sembari kita mendengar wejangan para penulis (muda) bagaimana mereka berduel dengan pikiran sendiri sampai melahirkan karya. Beberapa buku Kak Ira yang terbit tahun 2019 mendapat apresiasi di sesi itu.
Pengenalan selanjutnya dengan penulis ketika Kantor Bahasa Malut melakukan kegiatan sarasehan sastrawan pada 24-25 Oktober 2019 di Hotel Emerald Ternate. Karena di Terbaca4 obrolan sering pecah sana-sini sehingga perkenalan kami terbatas, di sarasehan, kami ngobrol banyak di sela waktu ishoma: saya bercerita soal aktivitas Independesia, anggota Independensia yang tetap percaya diri menerbitkan beberapa buku meski sadar buku yang diterbitkan mungkin jauh dari segi kualitas, dan Kak Ira bercerita ihwal proses kreatifnya dalam menerbitkan buku. Obrolan diperinci ke ihwal penerbit, genre yang disukai, sampai pada aktivitas hari-hari yang dijalani penulis. Nah, sekian buku-buku yang diceritakan Kak Ira pada hari itu, kini separuh telah dimiliki oleh Perpustakaan Independensia.Begitulah.
Sekarang giliran bagi para bujangan, baik nyong-nyong, juga jojaru-jojaru--mahasiswa/wi--yang waktunya sering tersita “deng baku jaga orang pe jodoh,” ajak saya melanconglah ke Perpustakaan Independensia lalu habiskan waktu dengan membaca karya-karya penulis Malut seperti Kak Ira ini. Saya yakin minat-daya baca dan kualitas kekaryaan kita juga tak kalah baiknya dengan mereka di Barat Indonesia sana, kalau, kalau, kita sedikit bekerja keras dan tekun dengan dunia buku: serius membaca, terus menulis.
Terima kasih Kak Ira atas donasi karya-karya ini. Amal literasi dan dedikasi ini mendapat limpahan rahmat dari Allah dan berlabuh di setiap pembaca. Semoga produktifitas menulis itu yang bisa mendorong mekarnya penulis-penulis muda di Malut. Sebab yang kita butuh, melahirkan karya sebanyak-banyaknya, sebaik-baiknya. Mengapa? Karena sebanyak-banyak buku nan sebaik-baik karya adalah organ kemajuan sosial. Salam literasi. Oh, saya lupa. Sejak kemarin saya lihat banyak yang berselancar di dinding Fb dengan resolusi tahun baru. Karena saya tak sempat membuatnya, anggap saja ini resolusi tahun baru saya yang terlambat. Resolusi tentang buku lewat mengenal seorang penulis produktif. Salam literasi sekali lagi.
sumber : www.facebook.com/ichal.ibrahim.7

Comments
Post a Comment