Gagal MoveOn



Namanya Amanda Esya Syarif, gadis berkacamata bundar dengan bingkai berwarna hitam dan rambut panjang yang dikuncir rapi. Matanya yang terbingkai kacamata itu meneliti dengan jeli, lembar demi lembar di hadapannya. Sebuah buku tebal yang sampulnya bertuliskan 'penulis hebat'.
Gadis itu tersentak, ketika tiba-tiba saja pipinya seakan tersengat sesuatu yang dingin. Matanya mengerjap sebelum melirik, ia langsung mendengus ketika mendapati sebuah kaleng yang ia yakini adalah berisi soda dingin.
Itu minuman kesukaan kekasihnya, yang akhir-akhir ini juga menjadi kesukaannya. "Dari mana saja?" tanya Amanda setelah mengambil alih kaleng itu.
Pemuda yang menyodorkan minuman kaleng tadi tersenyum singkat, kemudian mendudukan bokongnya di samping Amanda. "Dari kantin, biasalah!"
Amanda mengangguk saja, tangannya bergerak membuka tutup minuman kaleng di tangannya dan meneguk sedikitnya rasa minuman itu, cola. "Sama Varo dan lainnya?"
Pemuda itu mengangkat sebelah keningnya. "Sama siapa lagi?"
Amanda mengedik bahu. "Siapa tahu sama yang lain."
"Siapa?"
"Ya, siapa aja."
"Maksud lo Cindy?"
Amanda lantas menoleh cepat. "Nggak juga," jawabnya agak gamang.
"Lo tahu kalau gue emang aslinya deket sama Cindy."
"Iya," sahutnya lesu.
Dia si pemuda yang nyaris sempurna untuk menjadi pasangan kekasih. Si casanova dari kelas Ips 3, Junario Darian. Bisa menjadi pacar seorang Junario sejak dua bulan yang lalu, bukanlah hal mudah bagi Amanda. Dibenci, sudah menjadi makanan keseharian Manda—nama panggilan Amanda—kebencian itu tidak jauh-jauh dari masalah dirinya yang tidak pantas bersanding dengan Juna.
Bukannya tak tahu, bahkan sangat tahu dan sangat paham. Hanya saja, Manda sama seperti perempuan lainnya yang ada di sekolah ini. Tidak bisa menolak pesona seorang Junario. Hanya selang satu minggu masa pendekatan Juna, Manda dibuat luluh dan bersedia menjadi pacarnya.

Menurut Manda, Juna itu gentelman. Tidak sekali pun dia mengabaikan Manda walau banyak yang menghujat. Bahkan pemuda itu terkesan melindungi. Awalnya Manda tidak berharap bahwa hubungan mereka akan sama seperti pasangan lain, you know like a date, right? Tapi ternyata di luar dugaan. Bahkan Juna sering menemuinya di rumah atau mengajaknya keluar untuk sekadar makan atau berjalan-jalan ke pasar malam.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bukankah semuanya akan mungkin jika cinta hadir di sebuah ketidakmungkinan itu? Seperti halnya Juna, sebanyak apa pun hujatan orang yang mengatakan TIDAK MUNGKIN! Tetap saja, dua bulan terakhir adalah hal yang sangat MUNGKIN dan NYATA terjadi di kehidupan Manda.
"Minggu depan ujian, kan? Kamu mau kuliah di mana?" kata Manda memecah keheningan yang sempat terjadi.
"Rencananya, sih, mau kuliah di Jakarta aja."
Manda mengangguk. "Ya, udah. Kamu fokus belajar, biar ujiannya nggak susah."
"Makanya lo ajarin gue lagi nanti, biar nggak kesusahan," katanya menyengir.
Manda tersenyum. "Iya, tenang aja."
Oh, iya. Apa Manda lupa mengatakan kalau setiap pertemuan mereka, Juna selalu memintanya menjelaskan ini dan itu seputar sastra? Baginya tidak masalah, karena dia senang bisa sersama seorang Juna.
"Astaga!" Secara tiba-tiba, Juna menepuk jidatnya. "Gue lupa! Lo dipanggil sama Pak Barjo tadi di kantornya."
"Mau ngapain?"
"Gue nggak tahu. Yang jelas lo disuruh temuin dia."
Amanda melirik jam yang melingkar di lengan kanannya sebentar, kemudian menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot. "Oke, aku ke sana dulu yah." Dan hanya direspons anggukan oleh Juna.
***
"Sepertinya saya tidak bisa, Pak."
Pak Barjo menghela napas. "Kenapa, Manda? Kamu siswi berprestasi, bakat menulismu itu jangan sampai terbuang sia-sia. Sekurang-kurangnya kamu bisa mengembangkannya ketika di sana. Kesempatan nggak datang dua kali!"
Manda menggigit bibir bawahnya sembari tertunduk. Formulir beasiswa pertukaran pelajar ke salah satu sekolah di London tergeletak manis di depannya. Jelas ini bukan hanya kesempatan emas, melainkan berlian!
"Bapak juga tahu keluarga kamu tidak terlalu mampu membiayai sekolah kamu, untuk itulah kamu bisa bersekolah dengan nyaman tanpa memikirkan biaya dan selanjutnya pun saat ingin kuliah, kamu pasti akan diterima di universitas yang ternama. Bahkan bisa melanjutkan kembali di sana. Cobalah pikirkan kembali," bujuk Pak Barjo lembut.
Manda tahu itu. Sangat tahu. Perasaannya menjadi campur aduk. Selain tak ingin meninggalkan ibu dan adik satu-satunya, ia juga gelisah memikirkan tentang jalan hubungannya dengan Juna nanti.
Manda memejam kuat-kuat, tangannya tertaut erat. Gadis itu mengembuskan napas berat selama beberapa saat, lalu akhirnya ia membuaka mata, menatap Pak Barjo. "S-saya harus bicarakan ini dengan ibu saya dulu, Pak."
Guru di depannya terlihat mengembuskan napas. "Baiklah, kamu bicarakan dan usahakan Manda. Saya benar-benar mengharapkan kamu menerima beasiswa ini. Percayalah kamu adalah siswi beruntung bisa mendapatkan ini."
Selanjutnya Manda hanya mengangguk, memberikan senyum tulusnya kemudian pamit keluar dari ruangan itu.
Bagaimana nasib hubungannya bersama Juna nantinya? Apa mereka akan LDR? Apa Juna setuju? Bagaimana kalau pemuda itu tidak ingin dia menerima beasiswa? Bagaimana kalau nanti Juna kecewa karena dia memutuskan untuk menjalin hubungan secara LDR?
Soal ibunya, sebenarnya Manda sangat yakin kalau ibunya itu pasti setuju. Walaupun hanya mengandalkan hasil penjualan kue di toko kecil milik ibunya, Manda tidak pernah merasa kekurangan. Karena dengan melihat semangat ibunya untuk melihatnya bersekolah dan menjadi orang hebat, ia yakin ibunya akan gembira luar biasa.
Langkah Manda terkayuh ke arah lorong menuju kelas Ips. Dia harus menemui Junario, obrolan kali ini akan sangat serius.
Dengan senyum mengembang, Manda semakin mendekat ke ambang pintu XII Ips 3, sebagai kelas X Manda sudah cukup terkenal karena status pacarannya dengan Junario. Manda sudah akan menyampaikan sapaan riangnya, sebelum langlahnya terhenti oleh suara familier di dalam sana.
"Iyalah! Gue udah yakin kalau nilai sastra gue yang cacat bakalan tertutup. Dan kelulusan nanti, nilai gue yang paling tinggi!" Manda hanya tersenyum, namun entah mengapa ia masih ingin bertahan di balik tembok, ingin mendengar lelucon biasanya dari tiga serangkai senior populer di dalam sana.
"Terus setelah ujian?" Itu pasti suara Varo.
"Ya apa? Putusin si udik lah! Gila aja gue dua bulan bertahan sama cewek itu!" Manda menegang dengan nata yang membelalak.
"Gila lo!" sentak Fadli jengkel. "Dia udah tulus nemenin lo anjir!"
"Tahu lo! Tega banget! Gue lihat juga lo udah nyaman-nyaman aja, kok."
"Nyaman? NYAMAN? Astaga, lo berdua gila? Yang ada gue jijik tahu!"
Cukup. Sudah cukup. Manda langsung memunculkan diri di ambang pintu dan membuat tiga orang di dalamnya langsung tersentak, bahkan Varo dan Fadli langsung berdiri dari bangku mereka.
"M-an, eh? Manda. Emm ... a-nu i—" Varo tercekat karena tatapan Manda yang sudah diselimuti genangan air.
"Apa maksud kamu, Juna?" Nada suara Manda bergetar, namun pemuda yang duduk santai tak jauh dari depannya itu hanya mendengus seakan muak.
"Kurang jelas?"
"JUNA!" seru Fadli memperingati yang dibalas decakan oleh Juna.
"Nggak apa-apalah, lebih cepat lebih baik buat dia," kata pemuda itu dengan entengnya.
Air mata Manda sudah menetes, semakin deras seiring ingatannya tentang dua bulan silam kembali berputar dengan gerakan lambat di otaknya. Tubuhnya terasa bergetar. "Ke-kenapa?" katanya sembari menahan isakan.
Juna memutar matanya lalu mendengus muak. Pemuda itu berdiri dari duduknya, berjakan mengikis jarak antara dirinya dan Manda. "Kemarin-kemarin itu gue mau pacaran sama lo, karena nilai sastra gue kurang. Pak Puji bilang nilai lo yang paling oke seantero sekolah, jadi yaudah. Gimana, udah jelas? Jadi, kita putus. Oke?"
Kaki Manda melemas. Pandangannya semakin memburam, seperti kamera yang lensanya tak terfokuskan pada suatu objek. Manda merasa dadanya sesak, otaknya mendadak buntu, tak ada satu pun ingatan yang bisa kembali tayang dalam benaknya. Semuanya mendadak terasa kosong, pasokan oksigen pun serasa menipis.
Manda menepuk dadanya keras namun dengan tempo yang pelan. Seiring langkah mundurnya, dia terus berusaha memperoleh pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Tangannya bergetar melepaskan kacamata dan menghapus air matanya. Setelah kembali memasang kacamata, ia menatap Juna pelan. "O-oke."
Setelahnya ia berlalu dari kelas itu. Mau apa lagi? Kalau pun ada yang harus ia syukuri saat itu adalah kelas yang hanya diisi oleh tiga orang pemuda yang salah satunya sudah menorehkan luka dalam padanya.
Itukah pemuda yang sebelumnya menjadi sumber kekhawatirannya dalam mengambil keputusan untuk masa depan?
Ah, satu lagi. Manda sangat bersyukur karena mulutnya belum melontarkan penolakan untuk beasiswa tersebut.
Untuk itulah, langkahnya sekarang tergesah menuju ruang Pak Barjo. Sesampainya di sana, ia hanya mengetuk singkat kemudian masuk dengan air matanya yang masih belum berhenti mengalir.
"Pak, saya mau menerima beasiswa itu!" katanya dengan lantang namun menyembunyikan lirihan.

Sumber : Emeliiy

Comments