kesatuan sosial budaya wilayah sangaji maba memeiliki salah satu kekuatan armada laut yang
disebut dengan kora-kora dengan jumlah 13 buah armada atau juanga dapat
dibedakan antara; delapan jiko” dan “lima rumah” . bagi delapan jiko di
tandai dengan pemasangan bendera panji (panji empel) dan bendera merah
putih (Paji Lamo) serta dikelilingi dengan umbul-umbul
dan janur, sedangkan pergerakan bagi kora-kora lima rumah hanyah
dipasang benderah merah putih serta umbul dan janur tanpa bendera panji
(paji empel). Perjalanan armada laut atau kora-kora baik dalam ekspedisi
biasa ataupun konfoi perang selamanya diatur dalam suatu sistem yang
disebut dengan adat tagi-tagi (tata atur perjalanan) adat tagi-tagi ini
hanya berlaku pada saat sangaji maba bergerak dan berangkat dari sebuah
pelabuhan dengan tata atur sebagai berikut;
Jika armada tersebut berangkat menuju arah selatan, maka perjalanan dipimpin oleh kapita lao maba dengan memberi komando “ Fau belo jo....sangaji maba “, sambil mengitari barisan armada selama perjalanan. Deretan armada itu berturut-turut mulai dari kora-kora sangaji maba, sangaji mcoli, kimalaha wayamli, kimalaha ingli, kimalaha samfu, kimalaha gotowasi, kimalaha buli islam, kimalaha soa laipoh, kimalaha loleolamo, kimalaha petelei, kimalaha waci, dan kimalaha lolobata. Armeda tersebut merupakan suatu deretan panjang dan tidak boleh saling melampaui.
Apabila perjalanan ini diteruskan hingga memasuki wilayah sangaji patani maka kapitalao maba selaku pimpinan armada harus mundur dan diambil alih oleh kimalaha tepeleo, jika dilanjutkan maka diambila alih lagi oleh kapita lao patani dan jika memasuki kewilayah weda diambil alih oleh kimalaha lelilef dan terakhir diambil alih lagi oleh kapita lao weda hingga ketempat tujuan.
Sistem pemerintahan masa lalu dinamakan Pemerintahan Kolano lalu setelah Islam menyebar sampai ke Tidore maka bergantilah sistem kesultanan. Diwilayah maba dan wasile terdapat pemerintahan sangaji yang disebut dengan sangaji maba dan dibantu oleh beberapa qimalaha, yang pada dewasa ini yang pada dewasa ini dinamakan pemerintahan kabupaten halmahera timur, sehingga pemerintahan yang baru ini adalah perwujudan dan pengulangan kembali sejarah masa lalu.
Adapun jumlah struktur pemerintahan sangaji maba terdiri dari 13 tampuk pemerintahan desa yang tersebar dalam wilayah sangaji maba yaitu; Maba (sangaji lamo) berkedudukan di desa soa sangaji, sangaji mcoli (sangaji ici) berkedudukan di desa bicoli, kapita lao maba berkedudukan didesa soa qimalaha , qmalaha wayamli berkedudukan didesa wayamli, kimalaha ingli berkedudukan didesa bicoli, kimalaha samafi berkedudukan di desa bicoli, kimalaha gotowasi berkedudukan di desa gotowasi, kimalaha buli islam berkedudukan didesa buli karya, dan bagi kedelapan tampuk pemerintahan ini disebut delapan jiko (jiko tufkange).
Bagi sebagian masyarakat buli yang belum memeluk agama islam pda saat itu, yakni masyarakat buli asal karena kesatriaan dan keberaniannya diberi jabatan dan diberi gelar kapita kasomayoma sangaji maba atau ajudan pribadi sangaji maba.Sedangkan lima kimalah alainya yaitu; kimalaha laipo berkedudukan di desa laipoh kimalaha lalco lamo berkedudukan di desa loleolamo, kimalaha petelei berkedudukan di desa petelei, kimalaha waci berkedudukan di desa waci, dan kimalaha loloobata berkedudukan didesa lolobata, yang kelima lainnya disebut lima ruma (fola rontoha).
Setiap pucuk pimpinan dimasing-masing desa, dibantu oleh dewan pemangku adat desa, yang terdiri dari 4 (empat) orang pemangku yang direkrut dari setiap soa yang ada dalam desa, yaitu 2 orang uku dan 2 orang uat dan ditambah 1 (satu) orang kapita.Struktur semacam ini sangat condong dan mirip dengan sebutan fomanyira, bobato dunia dan bobato akhirat serta yang lainnya sebagai mana yang ada secara kolektif pada kesultanan moluku kieraha.
Komunitas dan kependudukan dan religi.
Sejak zaman dulu kala daerah pesisir dan pedalaman wilayah sangaji maba telah didiami oleh beberapa suku, yaitu; suku maba, suku buli, suku mcoli, yang hidup di daerah pesisir, sedangkan yang hidup didaerah pedalaman adalah suku tugutil dengan mengunakan bahasa tugutil yang mirip dengan bahasa tobelo, sedangkan sebahagiannya dapat mengerti dan mengunaka bahasa ternate.
Suku maba mengunakan bahasa maba meliputi beberapa desa, mulai dari desa maba pura sampai dengan desa waci diwilayah maba, dan bahasa maba digunakan pulah oleh masyarakat desa lolobata, masyarakat desa subaim dan sekitarnya di wilayah wasile.
Suku buli mendiami daerah buli, desa ailukum, dusun turil, dengan mengunakan bahasa buli bahkan bahasa buli digunakan pulah masyarakat desa wayamli dan desa patlean. Suku mcoli mendiami desa bicoli dengan mengunakan bahasa bicoli. Menurut legenda bahwa pada zaman purbakala suku maba mendiami hamparan wilayah dari desa soa kimalaha sampai dengan daerah wilayah buli yang terdiri dari beberapa soa/gelet dalam bahasa maba, antara lain; soa lolosimdi, soa cili popo, soa gei peto, soa lolan adalah pembagian soa yang ada pada komunitas masyarakat desa soa sanggaji.
Sedangkan komunitas masyarakat desa soa kimalaha terdiri dari; soa ilo, soa misomdi, soa wob, soa nyenipo, dan komunitas masyarakat desa soa laipoh hanya terdapat 1 (satu) soa yaitu soa loppoh, akan tetapi memiliki juga struktur dewan pemangku adat yang sama jumlahnya pada masyarakat adat didesa lain, karena statusnya sebagai kimalaha. Kemudian pada saat berikutnya, atas pertimbangan sangaji maba terhadap penguasaan wilayah wasile yang telah ditinggalkan oleh suku buli, maka kimalaha laipoh dibagi, dan sebagian yang dipimpin oleh 1 (satu) uku dan 2 (dua) uat ditempatkan didesa lolobata untuk mengamankan daerah wasile, sedangkan sebagian yang lain tinggal dibawa pimpinan seorang uku yang disebut uku laliga, tinggal menetap di desa laipoh. Suku buli pada zaman dahulu mendiami daerah tatam sampai daerah labilabi di wilayah wasile yang terdiri dari beberapa soa antara lain; soa gagaili, soa kabalal, soa mgoi maslongan dan soa tatam. Sedangkan suku mcoli pada zaman purbakala mendiami daerah pitak sampai daerah patlean yang kemudian pindah kedaerah bicoli dan bergabung dengan komunitas yang ada, sehingga komunitas tersebut terdiri dari; soa mcoli, soa ingli, soa samafu.
Agama dan kepercayaan sebelum masuknya islam di maluku, komunitas masyarakat diwilayah sangaji maba menganut kepercayaan animisme. Bukti kepercayaan masalalu masi tersisa sampai sekarang, dimana sewaktu-waktu diadakan persembahan dan sesaji bagi leluhur atau seseorang yang dikultuskan seperti yantoa di buli asal, farasman di mabapura, madalamo diwayamli, momole mancabo di bicoli, lol piyai di maba, lol klei di desa soa kimalaha dan lain-lainnya. Sampai saat ini belum ada pembuktian yang jelas dan akurat bahwa kapan dan siapa yang menyebarkan agama islam di wilayah sangaji maba, hanya saja konon cerita bahwa ada 3 (tiga) orang bersaudara yang datang dari negeri jauh masing-masing bernama:
Rajaman Kasulaia (yang tertua berdomisili di Maba)
Rajaman Kasturi ( yang tengah berdomisili di Patani)
Rajaman Sutaraja Mauraja (yang bungsu berdomisili di Weda)
Mereka inilah yang membawa suatu peradaban baru dalam kehidupan primitif dan kepercayaan animisme, dan mewariskan ilmu kesatriaan bagi wilayah sangaji maba, ilmu sufi dan budi pekerti bagi wilayah sangaji patani, dan ilmu kepintaran dan kepandaian bagi wilayah sangaji weda. Sesuai dengan bukti keteranggan dalam beberapa buku sejarah, bahwa agama yang pertama masuk kewilayah maba adalah agama islam, kemudian menyusul penyebaran agama kristen oleh misionaris belanda, sehingga pada saat wilayah sangaji maba, patani dan weda yang dikenal dengan sebutan GAMRANGE (tiga negri bersasudara) menjadi wilayah koloni kesultanan tidore, dan sekaligus mengatur sistem pemerintahan dengan struktur yang sebelumnya relah dibicarakan diatas. Maka mulai dari pemangkuan sangaji sampai kimalaha hanyah dikukuhkan bagi desa yang masyarakatnya sudah memelik islam, sebagaimana jumlah 13 buah tumpuk pemerintahan dalam wilayah sangaji maba, terkecuali pada desa bicoli hanya berlaku satu pucuk pemerintahan sangaji maba.
Oleh: hj musa kiye
sumber : www.facebook.com/dano.marasaoly.3
Jika armada tersebut berangkat menuju arah selatan, maka perjalanan dipimpin oleh kapita lao maba dengan memberi komando “ Fau belo jo....sangaji maba “, sambil mengitari barisan armada selama perjalanan. Deretan armada itu berturut-turut mulai dari kora-kora sangaji maba, sangaji mcoli, kimalaha wayamli, kimalaha ingli, kimalaha samfu, kimalaha gotowasi, kimalaha buli islam, kimalaha soa laipoh, kimalaha loleolamo, kimalaha petelei, kimalaha waci, dan kimalaha lolobata. Armeda tersebut merupakan suatu deretan panjang dan tidak boleh saling melampaui.
Apabila perjalanan ini diteruskan hingga memasuki wilayah sangaji patani maka kapitalao maba selaku pimpinan armada harus mundur dan diambil alih oleh kimalaha tepeleo, jika dilanjutkan maka diambila alih lagi oleh kapita lao patani dan jika memasuki kewilayah weda diambil alih oleh kimalaha lelilef dan terakhir diambil alih lagi oleh kapita lao weda hingga ketempat tujuan.
Sistem pemerintahan masa lalu dinamakan Pemerintahan Kolano lalu setelah Islam menyebar sampai ke Tidore maka bergantilah sistem kesultanan. Diwilayah maba dan wasile terdapat pemerintahan sangaji yang disebut dengan sangaji maba dan dibantu oleh beberapa qimalaha, yang pada dewasa ini yang pada dewasa ini dinamakan pemerintahan kabupaten halmahera timur, sehingga pemerintahan yang baru ini adalah perwujudan dan pengulangan kembali sejarah masa lalu.
Adapun jumlah struktur pemerintahan sangaji maba terdiri dari 13 tampuk pemerintahan desa yang tersebar dalam wilayah sangaji maba yaitu; Maba (sangaji lamo) berkedudukan di desa soa sangaji, sangaji mcoli (sangaji ici) berkedudukan di desa bicoli, kapita lao maba berkedudukan didesa soa qimalaha , qmalaha wayamli berkedudukan didesa wayamli, kimalaha ingli berkedudukan didesa bicoli, kimalaha samafi berkedudukan di desa bicoli, kimalaha gotowasi berkedudukan di desa gotowasi, kimalaha buli islam berkedudukan didesa buli karya, dan bagi kedelapan tampuk pemerintahan ini disebut delapan jiko (jiko tufkange).
Bagi sebagian masyarakat buli yang belum memeluk agama islam pda saat itu, yakni masyarakat buli asal karena kesatriaan dan keberaniannya diberi jabatan dan diberi gelar kapita kasomayoma sangaji maba atau ajudan pribadi sangaji maba.Sedangkan lima kimalah alainya yaitu; kimalaha laipo berkedudukan di desa laipoh kimalaha lalco lamo berkedudukan di desa loleolamo, kimalaha petelei berkedudukan di desa petelei, kimalaha waci berkedudukan di desa waci, dan kimalaha loloobata berkedudukan didesa lolobata, yang kelima lainnya disebut lima ruma (fola rontoha).
Setiap pucuk pimpinan dimasing-masing desa, dibantu oleh dewan pemangku adat desa, yang terdiri dari 4 (empat) orang pemangku yang direkrut dari setiap soa yang ada dalam desa, yaitu 2 orang uku dan 2 orang uat dan ditambah 1 (satu) orang kapita.Struktur semacam ini sangat condong dan mirip dengan sebutan fomanyira, bobato dunia dan bobato akhirat serta yang lainnya sebagai mana yang ada secara kolektif pada kesultanan moluku kieraha.
Komunitas dan kependudukan dan religi.
Sejak zaman dulu kala daerah pesisir dan pedalaman wilayah sangaji maba telah didiami oleh beberapa suku, yaitu; suku maba, suku buli, suku mcoli, yang hidup di daerah pesisir, sedangkan yang hidup didaerah pedalaman adalah suku tugutil dengan mengunakan bahasa tugutil yang mirip dengan bahasa tobelo, sedangkan sebahagiannya dapat mengerti dan mengunaka bahasa ternate.
Suku maba mengunakan bahasa maba meliputi beberapa desa, mulai dari desa maba pura sampai dengan desa waci diwilayah maba, dan bahasa maba digunakan pulah oleh masyarakat desa lolobata, masyarakat desa subaim dan sekitarnya di wilayah wasile.
Suku buli mendiami daerah buli, desa ailukum, dusun turil, dengan mengunakan bahasa buli bahkan bahasa buli digunakan pulah masyarakat desa wayamli dan desa patlean. Suku mcoli mendiami desa bicoli dengan mengunakan bahasa bicoli. Menurut legenda bahwa pada zaman purbakala suku maba mendiami hamparan wilayah dari desa soa kimalaha sampai dengan daerah wilayah buli yang terdiri dari beberapa soa/gelet dalam bahasa maba, antara lain; soa lolosimdi, soa cili popo, soa gei peto, soa lolan adalah pembagian soa yang ada pada komunitas masyarakat desa soa sanggaji.
Sedangkan komunitas masyarakat desa soa kimalaha terdiri dari; soa ilo, soa misomdi, soa wob, soa nyenipo, dan komunitas masyarakat desa soa laipoh hanya terdapat 1 (satu) soa yaitu soa loppoh, akan tetapi memiliki juga struktur dewan pemangku adat yang sama jumlahnya pada masyarakat adat didesa lain, karena statusnya sebagai kimalaha. Kemudian pada saat berikutnya, atas pertimbangan sangaji maba terhadap penguasaan wilayah wasile yang telah ditinggalkan oleh suku buli, maka kimalaha laipoh dibagi, dan sebagian yang dipimpin oleh 1 (satu) uku dan 2 (dua) uat ditempatkan didesa lolobata untuk mengamankan daerah wasile, sedangkan sebagian yang lain tinggal dibawa pimpinan seorang uku yang disebut uku laliga, tinggal menetap di desa laipoh. Suku buli pada zaman dahulu mendiami daerah tatam sampai daerah labilabi di wilayah wasile yang terdiri dari beberapa soa antara lain; soa gagaili, soa kabalal, soa mgoi maslongan dan soa tatam. Sedangkan suku mcoli pada zaman purbakala mendiami daerah pitak sampai daerah patlean yang kemudian pindah kedaerah bicoli dan bergabung dengan komunitas yang ada, sehingga komunitas tersebut terdiri dari; soa mcoli, soa ingli, soa samafu.
Agama dan kepercayaan sebelum masuknya islam di maluku, komunitas masyarakat diwilayah sangaji maba menganut kepercayaan animisme. Bukti kepercayaan masalalu masi tersisa sampai sekarang, dimana sewaktu-waktu diadakan persembahan dan sesaji bagi leluhur atau seseorang yang dikultuskan seperti yantoa di buli asal, farasman di mabapura, madalamo diwayamli, momole mancabo di bicoli, lol piyai di maba, lol klei di desa soa kimalaha dan lain-lainnya. Sampai saat ini belum ada pembuktian yang jelas dan akurat bahwa kapan dan siapa yang menyebarkan agama islam di wilayah sangaji maba, hanya saja konon cerita bahwa ada 3 (tiga) orang bersaudara yang datang dari negeri jauh masing-masing bernama:
Rajaman Kasulaia (yang tertua berdomisili di Maba)
Rajaman Kasturi ( yang tengah berdomisili di Patani)
Rajaman Sutaraja Mauraja (yang bungsu berdomisili di Weda)
Mereka inilah yang membawa suatu peradaban baru dalam kehidupan primitif dan kepercayaan animisme, dan mewariskan ilmu kesatriaan bagi wilayah sangaji maba, ilmu sufi dan budi pekerti bagi wilayah sangaji patani, dan ilmu kepintaran dan kepandaian bagi wilayah sangaji weda. Sesuai dengan bukti keteranggan dalam beberapa buku sejarah, bahwa agama yang pertama masuk kewilayah maba adalah agama islam, kemudian menyusul penyebaran agama kristen oleh misionaris belanda, sehingga pada saat wilayah sangaji maba, patani dan weda yang dikenal dengan sebutan GAMRANGE (tiga negri bersasudara) menjadi wilayah koloni kesultanan tidore, dan sekaligus mengatur sistem pemerintahan dengan struktur yang sebelumnya relah dibicarakan diatas. Maka mulai dari pemangkuan sangaji sampai kimalaha hanyah dikukuhkan bagi desa yang masyarakatnya sudah memelik islam, sebagaimana jumlah 13 buah tumpuk pemerintahan dalam wilayah sangaji maba, terkecuali pada desa bicoli hanya berlaku satu pucuk pemerintahan sangaji maba.
Oleh: hj musa kiye
sumber : www.facebook.com/dano.marasaoly.3

Comments
Post a Comment